Jumat, 13 Oktober 2017

# Curhat # Motivasi

Perceraian dan Ironi yang Mengiringi











boredpanda.com



Masih ingatkah kita dengan kasus Rangga, bocah kelas 2 SMP yang bunuh diri? Kisah pilu ini terjadi sudah dua tahun yang lalu, namun penting untuk diingat, agar tragedi seperti ini tidak terjadi lagi. 

Singkat cerita kasus ini adalah akibat dari perceraian orang tuanya. Sejak kecil, Rangga ditinggal bersama neneknya yang sudah tua dan tantenya yang sibuk. Rangga kemudian tumbuh menjadi anak yang sangat pendiam dan tertutup. Pihak sekolahpun terkejut atas tindakan bunuh diri yang ia lakukan. Selama di sekolah Rangga terlihat normal, seperti tidak menyimpan masalah apapun. Tantenya lah pihak yang pertama kali menemukan Rangga sudah tergantung di dalam lemari saat mau membangunkannya untuk sekolah.(wartakota.tribunnews.com)

Perceraian adalah hal yang buruk, namun memang ada beberapa hal yang harus diselesaikan dengan perceraian. Di Indonesia, 2 dari 10 pasangan suami istri becerai dan 70% penggugat adalah pihak istri (Kemenag). 

Di Amerika lain lagi ceritanya. Dikutip di tipsiana.com, Amerika adalah salah satu dari negara yang memiliki angka perceraian tertinggi di dunia. Dimana pasangan yang kurang secara finansial, memiliki umur 21-24 tahun, dan pernah mengalami perceraian pada pernikahan yang pertama akan memiliki peluang lebih besar untuk mengalami perceraian kembali. 

Penyebab perceraian umumnya adalah komunikasi suami istri. Komunikasi yang buruk pada pasangan suami istri ibarat api dalam sekam. Semacam ada emosi yang meluap dalam dada namun tidak ada jalan untuk dikeluarkan. Dikutip dari Yayasan Kita dan Buah Hati, komunikasi pasangan suami istri yang memburuk karena :
  • Hidup lebih realistis, tidak ada lagi sifat buruk yang bisa disembunyikan
  • Tidak mengetahui latar belakang penagsuhan keluarga pasangan
  • Tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah menciptakan wanita dan laki-laki itu berbeda : otak, hormon, dan kebutuhan.
  • Tidak memiliki keterampilan bebicara yang benar, baik, dan menyenangkan
  • Kurang memiliki kemampuan mendengar
  • Tak mampu berkomunikasi yang bersih dan jelas


Dampak Perceraian 

Dikutip dari Sarbini (2014), perceraian adalah penyebab stres kedua tertinggi setelah kematian pasangan hidup. Perceraian juga dapat menyebabkan trauma untuk kembali memulai hubungan yang baru dengan lawan jenis. Namun dampak terbesar tetap anak yang merasakan, karena pasutri yang akan melakukan  perceraian sudah berpikir melalui pertimbangan yang panjang, sehingga sudah memiliki persiapan mental dan fisik.  Sedangkan anak-anak pasti akan merasa kaget dengan perubahan hidup yang mereka alami. Berikut beberapa dampak psikologis yang dirasakan anak pasca perceraian orang tuanya :
  • Merasa tidak aman, umumnya mengenai finansial dan masa depan. Selain itu, kurangnya perhatian dari orang tua pasca bercerai akan membuat anak cenderung tertutup dan menganggap semua yang diluar dari dirinya adalah berbahaya. 
  • Adanya rasa penolakan dari keluarga. Anak merasa ditolak dengan orang tua yang baru (bapak tiri/ibu tiri), dan merasa kehilangan kasih sayang dari orang tua aslinya. 
  • Marah. Dengan adanya perceraian, seorang anak seringkali tidak dapat mengendalikan emosinya. Sering kali emosi yang berlebihan tersebut disasarkan pada  teman-teman dekatnya. Sifat marah (temperamen) anak yang menjadi korban perceraian dari keluarganya akan selalu terekam oleh pikiran bawah sadarnya karena perilaku orang tuanya yang sering bertengkar di depan anak, dan mengakibatkan anak mempunyai temperamen yang sulit dikendalikan.
  • Sedih. Orang tua tidak lagi menghiraukan perilaku dan perkembangan anaknya, sebab ia lebih mementingkan egonya dalam mencari pasangan hidup selanjutnya. 
  • Menyalahkan diri sendiri. Anak yang selalu menyalahkan diri sendiri akan berakibat pada gangguan psikologinya, sebab menyalahkan diri sendiri adalah awal mula gangguan psikologi 

Begitulah gambaran singkat dari ironi yang akan membuntuti pasca proses perceraian. Walapun, tentu tetap ada orang tua yang super, yang tetap mempu mendidik anak-anaknya walau dalam keadaan broken home.

Semoga menginspirasi.

sumber :

Kemenag
Sarbini. 2014. Kondisi Psikologi Anak dari Keluarga yang Bercerai. Artikel Imliah Psikologi Universitas Jember.
Yayasan Kita dan Buah Hati 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Aliran Rasa Bunda Cekatan 2020

Dear, Kali ini saya membuat aliran saya dengan telat. Sayang sekali.  Tapi saya tetap ingin membuatnya sebagai selebrasi perjuangan...

Follow Us @soratemplates