Para pembaca di sini ada yang sempat membaca postingan
menarik dari akun Hanny Dewanti tentang "Nikah itu Enggak Enak" yang
sempat viral dishare di facebook?
Saya tergelitik dan banyak mengiyakan kontennya. Haha,
menarik memang. Di saat semua mengagungkan gerakan menikah cepat, artikel itu
malahan dengan gamblang dan lugas mengupas sisi pernikahan dari sisi pahitnya.
Semua memang memiliki dua sisi kan, ya. Nikah saja ada sisi
pahitnya, apalagi jomblo.
Pernikahan memang bukah hanya mengikat dua orang
menjadi satu, satu visi dan satu misi. Namun juga mengikat dua keluarga besar.
Perbedaan kepentingan, perbedaan budaya dalam keluarga, perbedaan kondisi
finansial, dan perbedaan sikap, tentu akan berbuah debat jikalau tidak ada yang
saling menahan kata dalam dada.
Tapi ya, bagaimana ya bilangnya, sebagai wanita yang sudah
merasakan rumah tangga, saya rasa menikah memang tidak enak. Rasa-rasanya
pernikahan itu cara Tuhan untuk mentatar diri ini secara kilat untuk segera
memiliki pribadi yang baik. Ya, menurut saya pernikahan adalah training kilat
untuk menuju pribadi yang baik.
Memangnya ada training yang enak? Yang enak mah hura-hura
dan belanja kan, ya ibu-ibu.
Dulu waktu masih muda, tidak ada yang menegur gaya baju
apapun yang saya kenakan. Sekarang? Deh, boro-boro. Gak pake kerudung menutup
dada aja suami udah mengeluarkan tatapan membunuh yang membuat saya mengeluyur
masuk ke rumah untuk cari kerudung yang agak gedean.
Dulu mau pulang dari kampus jam berapa pun fine fine aja,
sekarang? Boro boro pulang malam, keluar tanpa bawa buntut kecil mungil aja
hampir tidak bisa dilakukan. Secara gak langsung saya (merasa) menjadi pribadi
yang setingkat lah lebih kalem dibanding masa-masa kuliah.
Jurus Maut dalam Pernikahan
Menikah menuntut untuk keahlian komunikasi yang jelas. Saya
ulangi, komunikasi yang jelas. Jadi buat para cewek cewek yang dulu suka
ngambek gak jelas saat pacaran, sudahi ngambeknya kalau tidak mau kena tilang
ibu mertua. Kalau mau ngambek silakan, tapi harus bilang alasannya dengan
jelas.
Misal,“Mas aku gak suka kamu taruh handuk basah di kasur.”
Menikah menuntut tutur kata yang manis. Ini jelas kan, ya.
Pacaran saja jelas menuntut hal ini, apalagi sudah menikah. Ini adalah jurus
maut yang perlu sekali dikuasi oleh para ibu ibu di rumah.
Misal,“Mas, kamu lebih ganteng deh kalau taruh handuknya
digantung depan kamar mandi” atau,“Mas, aku suka banget mas liat gayamu nyuci
beras. Gentlemen banget, masakin nasi dong.”
Saling mengalah dan pengertian. Ada peribahasanya kan ya,
mengalah untuk menang. Mundur selangkah untuk maju seribu langkah. Ini juga
salah satu jurus maut yang perlu ibu-ibu kuasai. Misal keuangan rumah tangga
lagi seret. Yang namanya kebutuhan kan memang gak akan ada habisnya. Sepatu
buat kondangan udah butut pula, tapi suami juga butuh sepatu baru buat hobi
joggingnya. Jadi di kala diskusi, bilang aja dengan suara lembut,”Aku belum
butuh sepatu kok mas, sepatuku yang udah jelek dan butut itu masih bisa kok
dipakai.”
Ini namanya sok mengalah padahal mengeluh, haha.
Dan saya rasa ini yang penting, menahan kata dalam dada. Memang
ada masa-masa kememblean pasangan kita benar-benar membuat jengkel. Tapi,
jangan lupa diri ini pun punya kememblean yang sama menjengkelkannya.
Jadi, saran saya kalau emosi sudah di puncak dan siap untuk
memuntahkan caci maki, mending langsung pindah tempat. Minimal ke tempat yang
menyenangkan dan ber-ac yang tidak ada wajah pasangan kita, misalnya ke
minimarket. Setidaknya di sana ada abang kasirnya yang akan menyapa dengan
lembut,”Selamat datang, terima kasih, mau isi pulsanya bu?.”
Menikah bukan hanya berarti mengumpulkan masalah dua orang
menjadi satu, tapi juga menambah manusia yang berusaha untuk mencarikan
solusinya.
Ada satu quotes yang saya sangat suka dari Agus Mulyadi:
Laki-laki boleh segarang macan, tapi wanita selalu
diciptakan untuk menjadi pawangnya.
That's all ibu ibu. Selamat mencoba, semoga kita semakin
menguasai jurus-jurus maut dalam rumah tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar