Sabtu, 23 Februari 2019

# Curhat # Motivasi

Ketika Passion Terbentur Dinding Utopis

Mark Manson Passion yang Terbentur

Saya baru saja merampung kan buku motivasi yang luar biasa menarik, yakni Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat karya om Mark Manson yang fenomenal itu. Saya memang jarang membaca buku motivasi karena biasanya di bagian prolognya saja sudah sangat membosankan. Tapi, buku ini memang berbeda, karena ditulis dengan kelugasan khas anak 'rebel' ala amerika. Jadi, saya rasa om Mark Manson berhasil menggunakan masa lalunya yang buruk menjadi cambuk untuk kembali merenungi arti bahagia dalam ukuran masing-masing.

Tapi, yang mau saya bahas bukan bodo amat soal definisi kebahagiaan, tapi soal passion. Akhir-akhir ini saya berasa sedang berada di depan tebing terjal, rasanya kok cita-cita jadi penulis rasanya adalah hal muluk yang utopis. Ceileh... u t o p i s...

Saya akui, di tengah 'banyaknya waktu luang' sebagai emak rumah tangga, kegiatan menulis memang jadi selingan yang luar biasa membahagiakan sealigus memusingkan. Pusing, karena emak-emak lain sudah jago dan apik banget menulisnya, sedangkan saya masih berasa jadi remah rengginang melulu dari dulu. Pengennya sih saya bisa sombong sedikit gitu loh, tapi kesempatannya belum ada sampai sekarang, hiks ...syedih euy.

Saya berasa udah jatuh baangun, kepeleset, salto-salto, dan hasilnya masih belum terasa sampai sekarang. Dan kalau sudah begini, hasrat menulisnya bisa surut berbulan-bulan. Ini yang disebut dalam buku om Mark sebagai passion yang salah. Mungkin kita bukan suka menulis, melainkan perayaan kesuksesan lewat menulis?

Setelah saya membaca bukunya om Mark, saya jadi kembali berpikir soal hobi ini. Saya sudah bertahun tahun menulis diari tanpa pernah mengaharapkan uang sama sekali. Ya, eyalah... siapa yang mau membayar untuk sebuah catatan harian (kecuali diarinya Anna Frank dan kisah kejombloan Raditya Dika). Dan rasanya memang saya harus membuang pikiran soal timbal balik untuk sebuah kebahagiaan lewat hobi.

Ada banyak sumber kebahagiaan selain uang, seperti kata om Mark, semua sumber kebahagiaan itu ada di dalam diri. Sebaliknya, hampir semua kesukaran itu karena harapan kita pada hal yang diluar diri, seperti uang, terkenal, dan disukai semua orang. Hal ini serupa dengan kata-kata dari Ali Bin Abi Thalib, 


Aku sudah pernah meraskan semua kepahitan hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.


Selama masa rehat menulis, rasanya yang ada saya semakin gila, hahaha. Ternyata memiliki kekhawatiran lain selain soal anak itu adalah kemewahan yang perlu disyukuri. Gegara tak punya perjuangan lain selain soal rumah, saya jadi sensitif dan mudah mengamuk cuman gegara handuk basah yang ditaruh di kasur. Gak enak banget lah jadi emak-emak tukang marah itu, lelah di fisik dan jiwa say. 

Jadi, rasanya saya menyadari bahwasannya rasa was-was menjelang pengumuman kompetisi menulis, rasa iri dengki pada blog emak-emak lain, dan rasa lelah ketika melewati tengah malam cuman untuk menulis gratis di web kompasiana adalah sebuah kebahagiaan. Tanpa adanya rasa pahit dari kekhawatiran semacam ini rasanya justru kehidupan berasa seperti sayur tanpa micin, tidak umami, hahaha. 

So, emak-emak manapun yang sedang berjuang, ada yang berjuang lewat lelahnya jam kerja, dan ada juga yang berjuang lewat tumpukan cucian piring, kita memiliki jalan perjuangan masing-masing. Yuk, yuk, yuk menikmati hidup dengan menggali rasa cukup di dalam diri. Seperti kata Om Mark dan ajaran agama Islam bahwa bersyukurlah, maka akan Kami tambah nikmatnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Aliran Rasa Bunda Cekatan 2020

Dear, Kali ini saya membuat aliran saya dengan telat. Sayang sekali.  Tapi saya tetap ingin membuatnya sebagai selebrasi perjuangan...

Follow Us @soratemplates