Kuingin Hilang Ingatan : Kecele'
rianandini
Maret 03, 2017
0 Comments
Liburan, tradisi mudik membawaku
sekeluarga menepi ke pedesaan tempat menaruh lelah sementara. Gersang siang menggodaku
untuk ikutan tante ke bank untuk sekedar menumpang sejuknya AC di sana. Perdebatan
sengit antara aku dan adikku yang sama sama ingin numpang ngadem dimenangkan
olehku, kakak tertua. Berangkatlah kami ke bank, satu satunya bank, yang menjadi primadona di kampung yang
digersangkan oleh jutaan pohon sawit.
Puluhan
orang mengantri dan bahkan sampai duduk melantai di sana. Tanpa malu aku pun
ikut duduk melantai persis di depan terpaan mesin AC. Sepupu kecil, anak
tanteku, yang lupa kalau ini bukan di rumah, mulai menaruh kepalanya di
pangkuanku untuk minta tidur siang. Tanteku yang lupa kalau membawa anak sudah
mulai mengobrol dengan salah satu pengunjung bank yang lumayan cakep.
Pengunjung
nan cakep itu ada di parkiran motor tepat di samping motor kami dan melempar senyum nya. Kami
pulang dan tante mulai bertanya,” Kamu gak ingat sama yang tadi Mi?”
“Gak tuh.” jawabku sambal lalu.
“Itu Aga lo. “
“Aga yang dulu ingusan upilan
yang sering main ke rumah mbah ?”
Dulu,
lima belas tahun yang lalu aku berteman akrab dengan anak laki laki ingusan
yang bahkan sudah aku tidak ingat wajahnya dan sudah pasti tidak akan aku duga
akan tumbuh menjadi sangat ganteng dengan seyum ala pepsodent. Dia sering
sekali mengganggu anak perempuan , aku maksudnya. Jadi, sepanjang ingatanku
pertemanan kita diwarnai beranten berantem dan perebutan mainan setiap hari. Di
ingatanku dia adalah anak bau jarang mandi yang suka ngupil dan tanganya bekas
upil pasti dilapkan ke bajuku. Teori revolusi terbukti benar adanya, lima belas
tahun sudah mentatar anak itu menjadi sosok nan ganteng bintang FTV.
Singkat
cerita, idul fitri sudah tiba. Semua orang bersiap dengan baju koko dan mukena
yang serba wangi dan putih. Awan pagi nan putih dan cerah ikut bertakbir riang
bersama langkah langkah kaki kami ke masjid dekat rumah. Semua berjalan seperti
biasa, solat sunah idul fitri kemudian khotbah idul fitri yang panjang dan
membuat terkantuk kantuk banyak jamaah. Pulangnya yang tidak biasa, di
kerumunan ibu ibu yang saling bersalam salaman, ada satu ibu ibu yang mengobrol
lama dengan ibuku. Itu adalah ibunya Aga. Raut muka tua yang masih menampilkan
sisa sisa kecantikan masa muda menjadi bukti dari mana gen ganteng yang
dimiliki dirinya. Senyum ramahnya sama persis dengan seyum pepsodent milik
anaknya. Kami mengobrol sebentar untuk berbasa basi santun kemudian pamit
pulang.
Rasanya
ada perasaan senang yang tidak bisa dijelaskan dalam kejadian ini. Sialan,
sudah berumur 22 tahun masih berasa berdebar macam anak SMA yang kerasukan
hormon. Perasaan senang yang berbuncah menjadi tertumpuk. Padahal ingatanku
tentang dia tidak jauh jauh dari hal hal berantem, berebutan mainan, dan colek
colekan upil. Tapi, aku tahu aku senang bertemu dengannya dan hal yang yang
berhubungan dengannya. Aku sudah mencoba menenangkan diri dengan cara curhat ke
teman kuliahku dan hasilnya makin parah. Temanku sudah menyatakan bahwa hanya
aku yang merasakan debaran itu, dan dia tidak. Tapi toh, seperti semua orang
yang lagi jatuh cinta : telinga mendadak tuli, mata mendadak buta, dan kebodohan
mendadak ganda.
Dan
apa lagi seakan alam dan Yang Maha Kuasa terus menciptakan pertemuanku
dengannya. Haha, rasa percaya diri orang jatuh cinta yang suka sengaja
mencocok-cocokan realita dengan takdir. Di hari idul fitri ini pun rumahnya yang
menjadi persinggahan pertama keluargaku yang sedang brsilaturahmi. Dari atas
motor aku melihatnya berdiri di dapur menghadapku. Bahkan mataku pun ikut mendadak
tajam kalau objeknya dia, sialan.
Pertemuan
berlangsung singkat, kami segera melanjutkan perjalanan. Di akhir pertemuan,
mendadak motor yang kukendarai mogok. Adik perempuan yang kubonceng berkomentar
,” Terang aja macet mbak, kuncinya masih di off kok. “ Oh Tuhan, aku berasa
mendadak jadi bodoh apalagi ini disaksian keluarganya yang sengaja sampai mengantar kepergian kami
sampai di depan teras.
Pertemuan
kedua terjadi tak berselang lama. Di rumah teman bapak yang lain, rombongan Aga
bersama teman teman cowoknya juga sedang di sana, memanjat pohon rambutan. Dan,
petemuan kedua itu dihabiskan membahas masa kecil yang sebenarnya juga sudah
redup redup di dalam ingatanku. Pertemuan keduaku dan terakhir ini ditutup
dengan sapaanya yang lembut, “Rambutannya lagi mbak ?”.
Usai sudah. Hanya
sampai di situ. Pertemuan lainnya malah sama emaknya yang entah kenapa jadi
berubah galak. Pagi itu, aku yang bangun kesiangan dan belum mandi sedang
mencomot sarapan dengan muka berantakan. Emaknya yang lagi berkunjung ke rumah
mbahku, sedang duduk di ruang tamu, melototiku dari ujung rambut sampai ujung
kaki diriku yang lagi memamah biak di dapur. Waaa, seram amat ini emak emak.
Ampun, saya gak lagi deh ngincer anak situ.
Selesai, semua berasa bagai kembang api. Aku
menjalani hidup kembali dan bertarung dengan waktu sampai akhirnya aku menikah
dengan orang lain. Di hari itu, sepupuku yang manis dan cantik jelita sekaligus semprul menceritakan sesuatu yang
membuat kembang api itu kembali meledak dalam dada.
“Mbak Mi,
ingat Mas Aga gak ?”
“Inget. Kenapa
dia Ki?”
“Setahun yang
lalu dia bilang cinta ke Mbak dan minta nomor hape Mbak Mi. Tapi aku jawab aja
kalau suka ya bilang langsung lah mas. Gak maco amat masa harus lewat aku sih.”